GUSAR
Terakhir kali mendengar suaramu di saluran telepon tadi, dirimu tampak tidak dalam keadaan yang baik. Entah apa yang terjadi, kamu tidak mengatakan apapun dan hanya menutup teleponmu. Aku mulai gusar. Ku percepat langkahku pulang, bahkan sampai berlari. Berbelok di tikungan depan lalu lurus ke arah jalan utama sembari mengamati tebing pembatas pantai. Kemudian aku berhenti, memandangi laut lepas dan terus mencari sosokmu yang kemudian muncul tiba-tiba di sampingku.
"Aku tahu kamu pasti ke sini," sapamu tersenyum simpul melihatku mengamatimu dengan heran dan kelelahan.
"Kamu kan memang mudah ditebak," kataku dengan sedikit tersengal setelah berlari tadi.
Dan terjadilah begitu saja. Kamu memelukku erat tanpa kata. Dalam hening jingganya senja, diikuti suara ombak yang terus bersautan menandakan sebentar lagi laut akan pasang. Aku membiarkanmu beberapa saat hingga akhirnya membalas pelukkanmu dan mengusap punggungmu. Merasakan belaian angin pesisir menyapu sempurna tubuh kita. Dunia rasanya bersekongkol dengan waktu untuk menjebak kita terperangkap di ruang ini entah berapa lama. Masih diam dan tanpa kata, yang terdengar hanyalah ombak yang makin mengganas. Sampai akhirnya aku berkata padamu.
"Jangan cemas, aku masih di sini. Aku belum pergi."
Detik itu pula kau melepaskan pelukkanmu dan tersenyum manis menatapku. Sore itu di tepian tebing terjal, di bawah langit jingga, aku biarkan sekali lagi Tuhan menghukumku dengan cara yang berbeda. Kamu.
Komentar
Posting Komentar